Kau tahu, Lukaku kian menganga. Tak hanya merah nyala, Tapi lebam semua berbalut biru. Aku mencecap dengan baik pengkhianatan yang kau tuduhkan. Kau bicara sendu, seolah aku yang keliru. Padahal, aku dan kau sama merasa lakon tak jujur itu. Sama membaca pesan yang tersirat dari sisa tapak semesta. Lalu kenapa masih saja aku yang harus memikul segala?
Aku masih melihatmu merenung. Sesekali mukamu benam dalam telapak tangan. Lalu bening pun hadir membasahi kerikil kecil di kakimu. Aku tahu kau terluka. Dan adalah salah mutlak jika kau kira aku tak sama merasa.
Kau lagi – lagi melemparkan pandangan ke arah padang ilalang. Padang di mana kita dahulu berlari mengejar rama – rama. Kubaca kecewa bergaris – garis, dan bibirmu seolah mengabarkan bahwa kau sejenak ini membenci segala rupa ilalang.
Ini tentang pengkhianatan yang tak termaafkan. Selalu saja lirih ini yang meluncur. Kau lupa bahwa telingamu masih ada, pun hatimu juga setia terpasang. Lalu kenapa tak jeli saja kau bangun setinggi mungkin agar kau bisa cerdas membaca alamat sebenar akan kejadian beberapa purnama silam.
Kau tahu, kepalaku nyaris pecah saat mendengar tudingan tajammu atas apa – apa yang tak pernah ku jelma. Dan demi menjaga lembut rasamu, maka aku diam saja. Aku memilih diam agar bahagiamu menjulang, agar senyummu kembali terkembang. Tapi nihil.
Aku semakin kecewa dengan diriku sendiri yang tak bisa buka suara. Sejujurnya, ingin kukabarkan bahwa matamu kala itu salah membaca. Kau membaca surat yang seharusnya bukan milikmu. lalu kaupun menikmati sumbang tak enak di luar sana. Tapi Maluku masih tinggi, takutku terkubur benang – benang ragu, hingga lisanku terbatu dan aku pun hanya bisa melihat bening matamu. Maafkan aku, aku masih menunggumu di padang ilalang beratap senja. Padang di mana kita tumbuh dan merajut purnama – purnama bahagia, meski sabitpun tak lagi ada.
Sudahlah, aku akan terus di sini, meski jejakmu tiada
salam kenal sebelumnya
:D
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO